Sahabat Tekun Bolehkah atau
bagaimana hukumnya qurban untuk orang yang sudah meninggal baik untuk
orang tua kita atau kerabat kita yang sudah meninggal. banyak pertanyaan
yang masuk di kami ” Bolehkah Qurban untuk orang yang sudah meninggal
atau bagaimana hukumnya ?”
Menjawab pertanyaan diatas, berikut kami
bawakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang kami
ambil dari kitab Ahkam Al-Adhahi wal Dzakaah, dengan beberapa tambahan
referensi lainnya.
Pada asalnya, kurban disyari’atkan bagi orang yang masih hidup,
sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk
dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan
kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada
dasarnya.
Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk.
[1]. Menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang
masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban
untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah
meninggal dunia.
Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka
ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits
shahih yang berbunyi.
“Artinya : Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai
khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing
dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata :
“Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati”
(Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum
menyembelih) [1]. Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari
umatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih
kurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan
orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [2]
Dasarnya ialah hadits Aisyah, beliau berkata.
“Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai
kurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), “Wahai , Aisyah, bawakan
pisau”, kemudian beliau berkata : “Tajamkanlah (asahlah) dengan batu”.
Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan
menyembelihnya dengan mengatakan : “Bismillah, wahai Allah! Terimalah
dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad”, kemudian
menyembelihnya” [Riwayat Muslim]
Sehingga seorang yang menyembelih kurban seekor domba atau kambing
untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh
ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang
telah meninggal dunia. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum,
maka masuk dalam ahli bait semua yang termaktub dalam ahli bait
tersebut, baik secara adat mupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat,
yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak
atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak
turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya.
[2]. Menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan
tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib
dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah.
“Artinya : Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
[Al-Baqarah : 181]
Dr Abdullah Ath-Thayaar berkata : “Adapun kurban bagi mayit yang
merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang
diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena
perintah menunaikan wasiat” [3]
[3]. Menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai
shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang
hidup) maka inipun dibolehkan.
Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan
bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan
menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata :
“Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal
sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah
meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang
lainnya di kuburan” [4]
Akan tetapi, kami tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk
orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi Shallallahu
‘alaihi was al sallam tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk
seorang yang telah meninggal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan
kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang
meninggal dimasa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan
tiga putra yang masih kecil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan
istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat
menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal.
Demikian sedikit ulasan berkenaan dengan kurban bagi orang yang telah meninggal.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M,
Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar